Kamis, 20 Desember 2012

tunanetra


DISINI, AKU MERASA ‘SAMA’ SEPERTI MEREKA YANG NORMAL
Tidak bisa melihat bukan berarti berhenti berkarya dan lantas menyurutkan semangat kehidupan, inilah salah satu prinsip yang dipegang orang-orang penyandang disabilitas, terkhusus kaum tunanetra. Seorang tunanetra yang mandiri adalah inspirasi hidup kita. Tunanetra sering kali dijadikan alasan untuk meminta belas kasihan. Kekurangan yang seringkali dijadikan alasan untuk tidak bekerja dan tidak berkarya. Boro-boro memberikan inspirasi hidup dan kontribusi kepada orang lain, untuk dirinya sendiri masih mengharapkan orang lain.
Kehadiran penyandang tunanetra dalam keluarga kita dipastikan tidak kita harapkan. Tentunya kita mengharapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa memohon keluarga kita dilahirkan normal sehat tidak kurang satu apapun. Namun apa boleh dikata kalau kita dikaruniai seorang keluarga penyandang cacat, tunanetra misalnya, satu-satunya jalan adalah bersabar dan tetap bersyukur atas karunia itu.
Mayoritas yang terjadi memiliki keluarga penyandang cacat adalah aib dalam satu keluarga sehingga mereka cenderung menyembunyikan bahkan menyia-nyiakan karena tidak berguna bagi keluarga itu. Mereka kebanyakan menganggap penyandang cacat ini bagi keluarga hanya menjadi beban tidak ada gunanya dan itu memang kenyataannya. Bahkan penyandang tunanetra ini pun saat dirumah tidak ada yang peduli, tidak ada yang mengajak bermain, bercanda dll, tetangga lewat pun tidak ada yang peduli di diamkan saja tidak di sapa. Mereka hanya termenung sendiri menunggui kegelapannya.
Ketika saya melakukan observasi ke Yaketunis, saya begitu takjub menyaksikan adik-adik usia SD bermain kejar-kejaran dan gendong-gendongan di koridor. Mereka buta tapi begitu leluasa bermain kejar-kejaran tanpa takut tersandung atau menabrak sesuatu. Hanya kita yang ketar-ketir khawatir melihat mereka berlarian kesana kemari, takut mereka terjatuh atau menabrak tembok. Dan keceriaan mereka sungguh membuktikan betapa rasa syukur dan ikhlas masih milik mereka atas keterbatasan yang mereka alami. Selain fasilitas pendidikan, Yaketunis juga memiliki asrama. Dalam keseharian, mereka tinggal di asrama Yaketunis dan mengikuti kegiatan pendidikannya di sekolah atau universitas masing-masing. Banyak dari mereka yang berasal dari beberapa kota di Jawa. Mereka tinggal di asrama yaketunis dan pulang ke kampung halaman kembali ke keluarga ketika libur panjang tiba. Jadi Yaketunis ini berbeda dengan panti asuhan untuk yatim piatu. kebanyakan dari mereka memiliki keluarga di tempat asalnya. Tempat teman-teman tunanetra ini menuntut ilmu pun bermacam-macam. yang SD dan SMP bersekolah di sekolah yang ada di kompleks yayasan. Sedangkan yang SMA sampai Universitas, mereka bersekolah di luar. Yang sudah kuliah, kabanyakan berkuliah di UIN Sunan Kalijaga, tapi ada juga yang kuliah di UGM. Jurusan yang mereka ambil berbeda-beda. Hanya kebanyakan di bidang pendidikan dan keagamaan. Teman-teman di Yaketunis dari awal sudah ditekankan untuk mandiri. Tidak bisa melihat bukan merupakan sebuah apalagi untuk terus bergantung pada orang lain. Mulai dari hal-hal kecil seperti mencuci baju dan keperluan pribadi lainnya mereka urus sendiri. Mereka juga menyapu dan membersihkan lingkungan mereka sendiri. Untuk berangkat ke sekolah atau kampus pun mereka lakukan sendiri, tidak diantar. Lalu gimana caranya mereka bisa sampai ke kampus atau sekolah mereka dari asrama Yaketunis? Mungkin kita bakal bertanya seperti itu. Sehari-hari mereka bersekolah atau kuliah memakai angkutan umum (bis). Lalu bagaimana bisa mereka tahu kalau yang datang adalah bis, bukan truk atau kendaraan lain? Bagaimana mereka tahu mana jalur bis yang sesuai dengan tujuan mereka? Bagaimana cara mereka naik bis? Bagaimana mereka tahu bahwa mereka sudah sampai tujuan? Dan sederet bagaimana-bagaimana yang lain yang membuat kita tercengang setelah mendengar jawabannya dari bibir mereka yang murah senyum. Coba saja teman-teman tanyakan pada mereka kalau kebetulan sedang berkunjung ke sana. Lebih lanjut tentang Yaketunis bisa ditanyakan juga di sana.
Suatu hari ketika saya melakukan observasi bersama teman-teman, saya berkesempatan untuk berkenalan dan berbincang-bincang dengan mereka. Ketika mereka menjawab pertanyaan dari saya mengenai cita-cita mereka, begitu takjub mendengar apa yang mereka cita-citakan dan keyakinan mereka untuk bisa menggapainya, membuat kita yang normal merasa malu. Betapa mulia cita-citanya dan betapa gigih mereka mengupayakannya. Kesulitan dan halangan yang mereka hadapi karena keterbatasan yang mereka miliki tidak membuat mereka mengeluh lalu menyerah, tetapi justru menjadi pengobar semangat untuk membuktikan bahwa walau tunanetra mereka bisa menggapai cita-cita mereka, tidak kalah dengan orang-orang yang normal penglihatannya. Sementara di sini kita masih sering mengeluh ketika menemui kesulitan yang sebenarnya sangat remeh. Sementara di sini kita mudah menyerah dan berbalik pergi ketika membentur tembok penghalang. Cita-cita mereka bermacam-macam, ada yang mau jadi dosen, guru, musisi, pemain tenis, dan sebagainya. Tapi satu semangat yang sama dari cita-cita mereka adalah bahwa mereka ingin bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi sesamanya, serta ingin menunjukkan kepada dunia bahwa keterbatasan penglihatan tak pernah bisa menghalangi mereka untuk berkarya dan berprestasi. mereka ingin menunjukkan bahwa seorang tunanetra bukanlah sebuah beban yang menyusahkan orang-orang, tapi seorang tunanetra justru mampu memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.
Satu hal menarik yang kami temukan ketika mengobrol dengan mereka. Salah satu dari mereka meminta nomor handphone teman saya. Semula saya berpikir itu hanyalah gurauan. Gimana bisa make HP, sedangkan untuk mengoperasikannya saja harus menggunakan indera penglihatan. Tapi ternyata mereka memiliki HP dan mereka bisa mengoperasikannya dengan menggunakan software yang bisa menterjemahkan item-item dan tombol di HP dalam bentuk suara.
Allah memang Maha adil, semua orang diberi kelebihan potensi walaupun manusia menganggap bahwa banyak sekali kekurangan.  Semua manusia sudah dibekali potensi masing-masing. Jadi jangan sibuk mendramaritis kekurangan kita, tapi mari kita gali potensi kita,karena setiap manusia pasti diberi kelebihan masing-masing.
Yogyakarta, Desember 2012
Angela Dewa Nindra
089114087
DAFTAR PUSTAKA;
Novita, Tirta, dan Angela. 2012. Ketunanetraan. (makalah)
Mangunsong, Frieda. (2011). Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Jilid 1. LPSP3. Jakarta


Saya Dan Mereka


Adakah manusia sempurna? Benarkah manusia memang tidak bisa mencapai kesempurnaanya sebagai mahluk yang bernama manusia.  Menjadi manusia sempurna adalah keinginan setiap manusia, tidak peduli status sosial, jenis kelaminnya, ras sukunya.  

Mereka tidak pernah meminta untuk dilahirkan seperti ini. Ya, anak-anak ini. Semester tujuh ini cukup berkesan. Pengalaman menyelesaikan salah satu matakuliah pilihan, Pendidikan Anak Luar Biasa. Sebelumnya tidak terbayangkan olehku untuk bisa sedekat ini dengan mereka. Melihat mereka dengan lebih dekat. Anak- anak yang lebih khusus dikenal dengan anak berkebutuhan khusus membuat mereka lebih spesial.  Inilah adalah tulisan mengenai pengalaman saya bersama siswa-siwa Tunarungu.

Bagaimana  rasanya jadi seperti mereka, tidak berani terlintas dibenakku, terlalu miris untukku secara pribadi. Akan tetapi tugas yang mengaharuskanku berinteraksi dengan mereka, mengubah paradigma terhadap anak-anak ini. Melakukan observasi selama tiga hari. Hari pertama bagiku sebagai sesuatu yang baru, seperti anak yang mungkin baru lahir melihat dunia.  Suatu tempat  asing dan tidak tahu apa yang bisa dilakukan.  Mencoba tidak gugup dan yakin bahwa saya bisa keluar dari dunia itu dengan selamat. Waktu terasa lama sekali pada hari pertama. Namun hari kedua dan ketiga berubah menjadi begitu cepat, saya menemukan anak-anak dengan tingkah laku mereka yang unik. Bagaimana saya mencoba beradaptasi dengan mereka, berpartisipasi pada kegiatan mereka sepanjang hari.

Dengan latar belakang yang berbeda mereka tetap manusia yang ingin bisa menikmati indahnya dunia, baik di rumah bersama orangtua, di sekolah dengan guru dan juga teman-teman yang memiliki kesamaan dengannya. Serta kebutuhan untuk diterima oleh masyarakat. Kekurangan mereka bukanlah hukuman dari Tuhan, mereka bukan produk gagal orangtua mereka.  Pengalaman yang tidak pernah saya lupakan adalah ketika pada jam istirahat usai sholat duhur, mereka aktif mendekati saya lalu bertanya saya asal dari mana? Kuliah ambil jurus apa? Itu apa sih? Itu susah nggak kak? Dan lain sebagainya. Awalnya saya khawatir tidak bisa menjelaskan dengan baik. Namun saya pelan-pelan dan mengulangnya beberapa kali.  Hal ini membuat saya juga belajar banyak dari mereka, saya bertanya kepada beberapa anak mengenai cita-cita mereka. Diantaranya ada yang menjawab ingin jadi orang perawat, dokter, pelukis, penulis dan lain-lain. Bagi saya mereka apa yang mereka cita-cita itu membanggakan. Ada seorang anak perempuan, saya lupa siapa namanya, namun saya teringat perkataannya, “Saya memang memiliki kekurangan pada pendengaran dan bicara tapi  setipa saya sholat saya bisa mendengar suara Tuhan.”

Saya mengutip dari jurnal  Self Detemination/ (Penetuan Nasib Sendiri). Berdasarkan review jurnal mengenai definisi self-determination adalah penetuan nasib sendiri sebagai dasar hak asasi manusia (Marks 2008; Ward. 1988: Wehnieyer, 1998. 2005). Wehineyer. Palmer, Agran. Mithaung dan Martin (2000) dan Wehnieyer (2004) mendeskripsikan self-determination adalah orang yang mempunyai agen hidup-sebagai orang-orang yang mampu membuat hal-hal menjadi nyata, bagaimana cara mereka mewujudkannya. Martin dan Marshall (1996) mendeskripsikan self-determination sebagai individu yang tahu bagaimana memilih, mereka tahu apa yang mereka inginkan dan bagaimana mendapatkannya.

Kemudian Field, Martin Miller Ward dan Wehmeyer (1998a) juga berusaha mendefinisikan self-determination dengan cukup baik sebagai suatu “kombinasi dari keterampilan pengetahuan, dan keyakinan yang memungkinkan  orang untuk terlibat dalam tujuan-diarahkan, regulasi diri, otonom perilaku” yang menjelaskan pemahaman kekuatan dan ketebatasan seseorang. Bersama dengan kepercayaan diri sebagai kemampuan dan efektif  untuk self-determination. Ketika kemampuan dan sikap individu untuk mengambil kendali dari hidup mereka dan bisa berperan sukses dalam masyarakat, (dalam hal 56).

Faktor yang mempengaruhi self-determination Anak bekebutuhan khusus?
Dukungan dari anggota keluarga, teman dan sosial serta instansi pemerintah yang kuat memberikan kekuatan, tekad dan dorongan untuk terus memberikan dukungan emosional  sebagai penting bagi mereka yang mengalami kelainan “kecacatan.” Hal ini yang memungkinkan mereka untuk melalui masa-masa sulit dalam hidup. Referensi untuk mendorong dan ketekunan, mengetahui apa yang mereka inginkan, percaya bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mencapai tujuan mereka, serta cara untuk mencapai tujuan  telah ditetapkan untuk diri mereka sendiri. (dalam hal 69). Self-awareness/ kesdaran diri terhadap kebutuhan dan juga penerimaan mengenai keterbatasan yang mereka miliki sebagai “sikap positif” dipandang sebagai tanda untuk mengetahui kapan dan bagaimana harus meminta bantuan. (dalam hal 69-70).

Selain itu, kunci utama adalah kepercayaan diri dalam pengembangan self-determination, dijelaskan oleh Schreiner (2007) yang menyatakan bahwa  siswa dengan cacat harus memiliki pemahaman akurat dan realistis tentang diri  mereka dengan tepat” (dalam hal. 73)

Dalam jurnal ini juga dipaparkan beberapa point penting yang bisa digunakan untuk mengembangkan self-determination melalui sekolah yang dimaksudkan sebagai strategi dalam memfasilitasi self-detetmination anak berkebutuhan khusus:
  1. Teach student how to set goals. Memahami benar-benar apa yang siswa inginkan dan mendorong untuk membantu mereka mengidentifikasi tujuan mereka.
  2. Assist students in self-assesment. Setelah tujuan ditentukan, membantu siswa dalam self-assessment kemampuan mereka untuk mencapai tujuan mereka. Apakah yang mereka butuhkan untuk mencapai tujuannya.
  3. Support the development of an action plan. Merupakan komponen penting dari pencapaian tujuan. Dalam hal ini meminta siswa dalam bertindak. Kapan  dan bagaimana mereka meminta bantuan orang lain.
  4. Provide opportunities to practice self-determined behavior. Memberikan kesempatan untuk siswa berlatih diri sangat penting. Hal ini sangat penting dan harus diberikan sesering mungkin, terlepas dari apakah siswa berhasil atau gagal dalam memenuhi tujuan mereka.
  5. Guide students in self-reflection. Terlepas dari apakah siswa berhasil atau gagal dalam mencapai tujuan mereka, mereka harus mencerminkan untuk memahami ini sebagai proses. Jika mereka berhasil, guru harus mengakui upaya mereka dengan positif penguatan dan menekankan bahwa siswa secara pribadi bertanggung jawab untuk mencapai tujuan mereka. Jika siswa gagal untuk mencapai tujuan mereka, guru dapat menilai kembali tujuan siswa, memodifikasi mereka jika perlu, mengidentifikasi bantuan, dan memberikan siswa kesempatan tambahan  untuk bertahan mencapai tujuan.

Berdasarkan jurnal dan pengalaman saya dalam observasi membuat saya menemukan isight bahwa mereka sungguh menjadi spesial untukku, kesempatan belajar bersama mereka dan memerhatikan bagaimana mereka berkomunikasi dengan orang lain, dibalik kekurangan mereka. Sikap mereka yang lebih ingin tahu dan benar-benar memerhatikan bagaimana suara bisa sungguh dipahami. Setiap indera yang Tuhan berikan selalu punya keterbatasan, bukan? Manusia yang normal fisik pun punya keterbatasan untuk menjangkau sesuatu. Kehadiran anak-anak tunarungu ini juga mempunyai peluang yang sama untuk memahami dunia menjadi utuh dan sempurna. Mereka perlu didampingi, mereka butuh telinga dan mulut orang lain untuk menggantikan apa yang tidak Tuhan berikan pada mereka.  

Daftar  Pustaka: 
Angell, Maureen E., dkk,  Adviece From Adults With Physical Disabilities on Fostering Self-Determination During the School Yeas. Teaching Exceptional Children. Jan/Feb 2010.


Fitri Apriliyana Tiran - 099114076
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta






Aku tidak bisa bicara, aku butuh perhatianmu ibu.
Seorang guru SLB yang menceritakan anak-anak didiknya yang mengalami gangguan bicara. Disebabkan oleh orang tuanya yang kurang perhatian kepada anaknya dan tidak tahu cara membentuk perilaku anak atau tidak bisa mengajari anaknya. Kisah anak-anak yang kurang diperhatikan orang tua. Yang pertama, anak yang tidak bisa bicara namun perilakunya sering meludahi orang-orang yang ada disekitar. Perilakunya begitu karena orang tuanya tidak memperhatikan anaknya ketika bermain dengan temannya yang lebih besar dari dia, kemudian anak itu diperlakukan kasar dan dibuat tidak bisa bergerak secara berkali-kali hal tersebut dilakukan oleh temannya hingga dia melakukan pertahanan diri menggunakan ludahnya karena ia tidak dapat bicara. Ibunya juga terlamabat menyadari bahwa anaknya tersebut mengalami gangguan bicara karena ibunya tidak pernah memperhatikannya. Setelah ia menyadarinya baru saja ia memasukkannya ke SLB. Anak yang kedua, anak yang autis dan tidak bisa bicara. Perilakunya tidak jelas dan sering melihat ke atas. Ia juga kurang mendapat perhatian dari ibunya karena ia memiliki adik bayi sehingga ia sering ngamuk atau marah ketika adiknya menangis. Anak yang ketiga, anak yang tidak bisa bicara dan dikucilkan oleh semua anggota keluarganya dan ibunya hanya sedikit peduli kepadanya. Dari cerita kisah-kisah tersebut orang tua kurang memperhatikan anaknya. Hal terpenting bagi anak-anak yang mengalami hambatan adalah perhatian dan kasih sayang orang tuanya.

pendekatan psikologis dibutuhkan untuk menguatkan orang tua dalam  rangka menerima apa yang terjadi pada anak-anaknya. Hal yang senada ditemukan oleh Sri Rachmayati dan Anita Zulkaida. Dalam penelitian kualitatif yang mereka lakukan terhadap tiga keluarga. dari tiga keluarga hanya 1 keluarga yang dapat menerima keadaan anaknya. Hal ini dikarenakan kurangnya kelekatan dengan anak sebagai akibat dari kesibukan mereka dan penyerahan pengasuhan anak pada pengasuh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, mereka mengelompokkan beberapa tahap yang sering dialami orang tua dengan anak berkebutuhan khusus. Pertama adalah merasa kaget dan cemas. Lama kelamaan mulai memahami keadaan anak entah lewat pengamatan sehari-hari ataupun bertanya pada ahli. Tahap selanjutnya adalah mencoba untuk memahami apa yang sudah dapat dan belum dapat dilakukan oleh anak. Berikutnya orang tua akan mulai memahami sumber terbentuknya perilaku. Pada tahap ini biasanya orang tua akan melakukan teknik pemberian reward agar anak melakukan perilaku yang diinginkan. Pada akhirnya kesemua orang tua mengupayakan semua hal yang sesuai untuk penanganan anak-anaknya.
Pengetahuan orang tua yang mengalami gangguan cukup kurang bagaimana cara membentuk perilaku mereka, kerap kali orang tua yang memiliki ke cacatan tidak membentuk prilakunya tetapi mengasihaninya dan mengaggapnya sebagai anak yang tidak mampu melakukan apa-apa. Dan tak jarang orang tua menolak anaknya sehingga orang tua tidak mempedulikannya.

Apabila kita memiliki anak yang mmengalami gangguan atau cacat kita harus beri perhatian apa pun keadaan anak. Kemudian yang tidak kalah penting pengetahuan orang tua tentang mendidik anaknya yang memiliki gangguan bicara. Membentuk prilaku anak bisa dilakukan dengan berbagai cara sebagai berikut:
      Rumusan classical conditioning
     NS  saja = netral atau tidak ada respon
     US saja = UR (respon yang muncul tanpa pengkondisian)
     NS + US (dilakukan berulang) = CR (respon hasil asosiasi)
     NS beruban menjadi CS (stimulus hasil pengkondisian)
     CS saja = CR (respon)
Contooh kasus: Saat main anak merasa senang, Ketika anak bermain, orang tua/ guru mengajak anak belajar, Perilaku dilakukan berulang, Akhirnya anak berpikir belajar = bermain, sehingga anak menjadi senang.
      Operant Conditioning (Skinner)
Reinforcement : proses pengulangan perilaku karena adanya pemberian konsekuensi (+), yaitu pemberian sesuatu yang menyenangkan atau pengambilan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Punishment : proses pengurangan perilaku karena ada konsekuensi (-), yaitu pemberian sesuatu yang tidak menyenangkan atau pengambilan sesuatu yang menyenangkan. Contoh : Anak yang mau melakukan tugas yang sudah diinstruksikan diberikan reward berupa permen, Lakukan perlakuan berulang, Anak akan menjadi termotivasi untuk melakukan sesuatu.
      Social Learning (Bandura)
Observational learning : proses belajar karena individu mengamati sesuatu
Vicarious learning : proses belajar karena merasa (seolah-olah) mengalami suatu peristiwa
Imitative learning : proses belajar karena meniru perilaku orang lain
Modeling learning : proses belajar karena mencontoh seseorang yang menjadi model
Contoh kasus: Jika ingin anak makan dengan cara yang benar maka orang tua harus menunjukkan dan mempraktekkan cara makan yang benar. Melakukan pengulangan, dan membiarkan anak melihat secara terus menerus. Anak akan mempelajari dan melakukan cara yang sama

Pengertian Anak yang mengalami gangguan bicara adalah anak yang mengalami hambatan dalam komunikasi verbal yang efektif yang dialami seseorang. Hal ini menyebabkan berkurangnya pemahaman bahasa yang diucapkan. Rizzo (1979) menggolongkan gangguan bicara menjadi beberapa kategori pokok, yaitu; kelainan artikulasi, gangguan kelancaran bicara, kelainan suara, dan kelainan bahasa.

karakteristik anak yang mengalami gangguan bicara antara lain:
-          Terjadi anak yang lahir secara prematur
-          Kemungkinan lebih tinggi (mencapai 4 x lipat) pada anak yang belum bisa berjalan pada usia 18 bulan
-          Biasanya belum bisa mengucapkan suatu kalimat pada usia 2 tahun
-          Memiliki gangguan pengelihatan
-          Sering dikategorikan sebagai anak yang kikuk oleh gurunya
-          Kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya
-          Sulit membaca
-          Biasanya lebih banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan

Pendekatan yang dilakukan dalam rangka menangani anak dengan gangguan bicara dan bahasa haruslah secara menyeluruh dan menyentuh berbagai aspek. Metode yang dapat digunakan untuk menangani masalah anak luar biasa adalah :
1.      Secara medis, anak dengan gangguan bicara harus mendapatkan penanganan yang tepat. Anak dengan gangguan bahasa dan bicara harus mendapatkan terapi wicara yang dilakukan oleh seorang speech pathologist. Selain itu mengontrolkan anak ke dokter THT untuk menangani kelainan bicara yang mungkin disebabkan kerusakan saluran pernafasan, otot wajah, dan mulut.
2.      Secara psikologis, tidak dapat dipungkiri gangguan bicara bahasa akan mempengaruhi penyesuaian diri penderitanya. Maka dari itu intervensi psikologis penting dilakukan. Pendekatan ini lebih banyak dilakukan pada kasus anak-anak gagap dan anak dengan kelainan bahasa. Namun pada kenyataannya penanganan secara psikologis lebih efektif pada kasus anak gagap dibanding kasus anak dengan kelainan bahasa.
3.      Dalam dunia pendidikan, peran serta guru sangat dibutuhkan selain orang tua dan terapis. Di sekolah, guru harus mampu menstimulasi anak untuk lebih berani dan mau mencoba bicara. Misal dengan mengajarkan bunyi-bunyian spesifik atau dengan mendorong anak berani bicara di depan kelas. Untuk mendukung pendidikan di sekolah orang tua diharap mampu menciptakan lungkungan dan kegiatan bermain yang “memaksa” anak menggunakan verbalisasi. Selain itu, untuk kasus gangguan yang sangat berat, komunikasi antara guru, terapis, dan orang tua sangat diperlukan.
Saran
Hal yang perlu diingat
      Bahwa metode apapun yang dilakukan untuk membentuk perilaku anak akan menjadi sia-sia jika orang tua dan guru tidak  konsisten dalam memberi perlakuan
      Selain konsistensi dan kesamaan pemberian perlakuan , kesabaran juga diperlukan. Bahwa perilaku terbentuk karena proses belajar yang tidak sebentar. Maka jangan menyerah ketika perilaku anak belum bisa berubah.

 Triyanti MeytaPutri/089114092
Sumber :
-          Buku psikologi anak luar biasa
-          Observasi dan wawancara para guru dan orang tua
-          Implementasi program workshop tuna wicara
-          Mary beth, paraprofesisional support students with disabilities: literature from the past decade, 2001.
-          Suran,Bernard, G. dan rizzo. 1979. Special children an introgative approach.





EFEKTIVITAS SISTEM TOKEN EKONOMI DAN MODEL PEMBELAJARAN EKSPERIENSIAL UNTUK ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERILAKU (CONDUCT DISORDER)



Martha Hesty Susilowati
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta


Abstrak
Artikel ini memaparkan tentang gangguan perilaku pada anak-anak dan penanganan dengan terapi behavioristik terhadap gangguan tersebut. Peneliti melakukan asesmen awal dengan metode observasi selama tiga minggu dan melakukan wawancara dengan anak-anak, pengajar maupun orang tua anak yang mengalami gangguan perilaku. Peneliti merancang terapi dengan teknik sistem token ekonomi dan model pembelajaran eksperiensial. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedua teknik tersebut efektif untuk menangani anak-anak dengan gangguan perilaku di sebuah SLB-E Yogyakarta.

Rasanya senang sekali bila berada di dekat anak-anak. Mereka memiliki tingkah yang lucu dan spontan atau apa adanya. Terkadang mereka bersendau gurau dengan hal-hal yang kreatif dan menyenangkan untuk orang-orang disekitarnya. Akan tetapi sebagian dari anak-anak juga bisa bertindak nakal atau memiliki perilaku yang tidak sesuai dengan kehendak orang lain. Apabila perilaku tersebut berlebihan, kita sebagai orang yang berada di dekatnya perlu lebih memperhatikan apakah perilaku tersebut mengindikasikan sesuatu. Perilaku agresif yang berlebihan dan tidak wajar merupakan salah satu gejala gangguan perilaku (conduct disorder). Gangguan perilaku merupakan sikap dan perilaku anak-anak yang melanggar aturan dalam keluarga, norma sosial dan merugikan orang lain (Mash & Wolfe., 2007). Anak-anak dengan gangguan tingkah laku melakukan tindak agresif secara disengaja. Tindakan-tindakan yang mencerminkan gangguan perilaku antara lain merusak barang-barang disekitarnya, berkelahi atau bertindak agresi untuk melukai orang lain, mencuri, berbohong, menentang aturan-aturan dan terlibat dalam kenakalan-kenakalan lainnya (Lamber dkk, 2001 dalam Nevid., 2002). Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh lingkungan atau genetis (Nevis, 2002).

Berdasarkan hasil observasi kami di sebuah SLB-E di Yogyakarta, kami menemukan bahwa sebagian ciri-ciri perilaku anak-anak dengan gangguan perilaku di SLB-E tersebut sesuai dengan ciri-ciri gangguan perilaku yang dinyatakan pada teori. Anak-anak SLB-E tersebut, khususnya anak kelas VI sering berkelahi dengan teman, memukul teman dan pengajar, merusak meja dan mencorat-coret tembok kelas, berbicara kotor, mengejek teman dan sering mengobrol hal-hal yang tidak berkaitan dengan materi pelajaran ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Hasil wawancara menyatakan bahwa mereka berasal dari latar belakang keluarga yang tidak harmonis (orang tua bercerai) dan berasal dari keluarga dengan tingkat sosial-ekonomi menengah ke bawah.

Menurut kami, kondisi tersebut tidak mendukung anak-anak untuk belajar dengan optimal dan berperilaku lebih adaptif. Atas keprihatinan tersebut, kami melakukan eksperimen kecil-kecilan. Kami mencoba untuk mengubah perilaku anak-anak agar lebih mendukung untuk belajar dengan menggunakan terapi behavioristik. Terapi behavioristik merupakan salah satu teknik terapi psikologis (khususnya pembelajaran) yang memiliki prinsip untuk menangani perilaku maladaptif manusia (Rimm & Masters, 1974). Dalam teknik ini ada salah satu metode yang sesuai untuk menangani gangguan perilaku, yakni token ekonomi. Token ekonomi merupakan sebuah tritmen untuk gangguan perilaku yang menggunakan penguat (token) yang dapat ditukar dengan barang atau sesuatu yang secara langsung merupakan suatu penguatan (winkler, 1970). Untuk itu, langkah awal yang kami lakukan adalah menentukan perilaku yang akan diubah. Perilaku-perilaku tersebut antara lain:
1.                  Berkelahi atau memukul teman dan pengajar
2.                  Berkata-kata kotor
3.         Mengobrol hal-hal yang tidak berkaitan dengan materi pelajaran ketika belajar di kelas
4.                  Merusak meja dan benda-benda di sekitarnya
5.                  Menentang perintah pengajar atau tidak patuh pada pengajar.
Kemudian, masing-masing perilaku tersebut kami beri poin. Apabila anak-anak tidak melakukan perilaku-perilaku tersebut, maka kami akan memberikan poin sesuai dengan standar yang telah dibuat kepada anak-anak tersebut. Poin-poin itulah yang akan mereka kumpulkan dan dapat ditukarkan dengan sesuatu yang mereka sukai, yakni mainan yang mereka sukai.
Selain itu, kami juga memberikan pembelajaran dengan model eksperiensial pada anak-anak tersebut. Model pembelajaran eksperensial merupakan pengalaman terstruktur dimana situasi pembelajaran didasarkan pada model pembelajaran eksperensial, yang lebih bersifat induktif daripada deduktif, memberikan pengalaman belajar langsung daripada lewat pengalaman orang lain, dan para partisipan diberi kesempatan untuk menemukan sendiri makna hasil belajarnya serta menguji sendiri keahlian pengalaman itu (Supratiknya, 2011).

Hasilnya, kedua metode baik token ekonomi dan model pembelajaran eksperiensial berhasil dan efektif untuk mengubah perilaku anak-anak dengan gangguan perilaku menjadi perilaku yang lebih adaptif. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya perilaku memukul, merusak benda di sekitar dan berbicara kotor ketika sistem token diterapkan. Anak-anak juga lebih fokus dan merasa tidak bosan ketika penyampaian materi dilakukan dengan dinamika kelompok seperti bermain dan menggunakan media gambar, sehingga anak-anak tidak mengobrol hal-hal yang tidak terkait dengan materi ketika proses belajar berlangsung.

Akan tetapi, ada seorang anak yang masih memberontak dengan perilaku meninggalkan kelas ketika kami menerapkan kedua teknik tersebut. Kemudian kami melakukan pendekatan individual pada anak tersebut sehingga anak mau belajar lagi di kelas. Untuk itu, selain pendekatan secara kolektif, kita juga perlu memperhatikan anak-anak secara individual. Peran keluarga juga sangat penting bagi terbentuknya perilaku yang adaptif, karena orang tua adalah guru pertama mereka dan orang tua memiliki pengaruh yang besar (Lickona, 2012). Dengan kata lain, program ini akan menjadi ideal ketika pihak keluarga/orang tua, sekolah dan masyarakat bersama-sama mendukung terbentuknya perilaku adaptif bagi anak-anak yang mengalami gangguan perilaku.


Sumber Acuan:
Fraser, Mark W , Maeda J. Galinsky, dkk. (2005). Social Information-Processing Skill Training to Promote Social Competence and Prevent Sggressive Behavior in the Third Grade. Journal of Consulting andClinical Psychology, Vol. 73, No. 6, 1045-1055.
Kartono, Kartini Dra. (1972). Psychology Abnormal. Bandung: Alumni.
Lickona, Thomas. (2012). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Jakarta: Bumi Aksara.
Mash, Eric J & David A. Wolfe. 2007. Abnormal Child Psychology. USD: Thomson Wadsworth.
Nevid, Jeffrey D., et all. 2002. Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.
Parritz, Robin Hornik & Michael F. Troy. (2011). Disorder of Childhood Development and Psychopathology. USA: Wadsworth.
Rimm, David C & John C. Masters. (1974). Behavior Therapy: Techniques and Empirical Findings. London: Academic Press.
Supratiknya, A. (2011). Merancang Program dan Modul Psikoedukasi Ed. Revisi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.