Perhatian dan Dukungan itu Penting Lho ..
Oleh Bernadeta
Dwi Hapsari
Anak yang berbeda dari anak-anak
pada umumnya biasanya akan dianggap sebagai anak yang memiliki kebutuhan khusus
(ABK). Ada yang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna laras, tuna grahita,
dan tuna daksa. Kali ini kesempatannya saya membahas bagian tuna daksa. Tuna
daksa itu apa sih? Tuna daksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik,
atau cacat tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami
kelainan anggota gerak dan kelumpuhan yang disebabkan karena kelainan yang ada
di syaraf pusat atau otak, disebut sebagai cerebral
palcsy (CP) (dalam Suparno dan Heri Purwanto).
Selain itu, anak-anak tuna daksa
memiliki beberapa karakteristik yang mencakup karakterisktik fisik, kognitif,
sosio dan emosi. Kalau karakteristik fisiknya biasanya mengalami gangguan
motorik yang berupa kekakuan, kelumpuhan, dan gangguan keseimbangan. Gangguan
motorik ini meliputi motorik kasar dan motorik halus (dalam Suparno dan Heri
Purwanto). Sama halnya dengan anak-anak tuna daksa yang telah saya observasi
disalah satu SLB (Sekolah Luar Biasa) di Yogyakarta, saya kira mereka paling
mudah dikenali sebagai penyandang cacat fisik karena penampilan fisiknya yang
berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Anak-anak tersebut mengalami kecacatan
pada bagian kaki, sehingga tidak mampu berdiri dan hanya menggunakan kursi roda
untuk melakukan aktivitasnya. Jika mereka tidak menggunakan kursi roda pun,
mereka hanya mampu merangkak. Saya sempat melihat mereka bermain bola ketika
mereka beristirahat. Dan ternyata mereka bermain bola dengan menggunakan
tangannya misalnya untuk menendang, mereka hanya bisa memukul bolanya. Mengejar
bola pun hanya dengan merangkak. Selain itu, ketika masuk di kelas 2 saya
melihat bahwa beberapa dari mereka memiliki kemampuan kurang baik dalam hal
motorik halus. Misalnya saja, mereka belum bisa menulis dengan baik dan masih
sangat lamban dalam menulis. Akan tetapi, saya merasa perhatian dan dukungan
untuk mereka masih sangat penting. Hal ini terlihat dari kesediaan sang guru
untuk bisa melayani dan mengajari anak murid sangat kurang peka. Sang guru
kurang memberikan perhatian secara individual.
Penerimaan
dari masyarakat sangat penting loh untuk perkembangan sosio dan emosi anak
penyandang cacat fisik ini. Masyarakat yang mampu menerima kekurangan mereka
dan tidak mengabaikan mereka akan membantu proses perkembangan pribadi yang
lebih baik untuk mereka. Nah, sama halnya dengan orang-orang yang lain, para penyandang
tunadaksa ingin diperlakukan dengan baik, merasakan dirinya berharga. Hal ini
merupakan sasaran yang sulit dicapai bagi penyandang tuna daksa (Collins, dalam
Nugroho 2010 dalam Ratnaning Sanja 2006). Dalam hal ini, bisa juga kita kaitkan
dengan relasi yang terjadi di sekolah antara guru dan murid-murid tuna daksa.
Ketika saya melakukan observasi di SLB, saya melihat bahwa relasi antar
penyandang tuna daksa ini sangat baik. Mereka dapat bermain bersama dan
bercanda bersama serta tidak merasa iri dengan keadaan mereka. Meskipun begitu,
ada satu anak yang kurang dapat menjalin relasi baik dengan orang lain. Hal ini
nampak ketika setiap berada di sekolah, dia hanya bersama dengan orang tuanya.
Selain itu, ketika berada di dalam kelas pun harus didampingin oleh sang ibu
dan tidak mau jika ditinggal sendiri di dalam kelas. Melihat proses belajar
mengajar yang ada di dalam kelas, menurut saya sangat mempengaruhi kondisi
sosio dan emosi si anak tersebut. Sang guru kurang memberikan perhatian dan
dukungan kepada si anak, sehingga si anak mencari perhatian dengan cara
membanting meja, melempar buku dan terkadang menjahili sang guru sampai sang
guru merasa kesal dan akhirnya mengabaikannya. Akan tetapi, sikap mengabaikan
yang dilakukan oleh sang guru malah justru membuat si anak semakin merasa tidak
diterima oleh orang lain dan akan selalu membuat onar. Hal ini sangat
berpengaruh pada emosi yang sensitif dan terlalu peka terhadap keadaan sekitar.
Selain itu, sikap mengabaikan sang guru bisa menjadi faktor yang membentuk si
anak tidak mampu menerima dirinya sendiri yang memiliki kecacatan tubuh.
Karena, penerimaan diri juga lebih mudah dilakukan oleh orang-orang yang
mendapatkan perlakuan yang baik dan menyenangkan dari orang lain (dalam Desi
Anggraini, 2012). Kemudian, penerimaan diri yang dilakukan oleh sang guru juga
dapat mengembangkan self determination si
anak penyandang tuna daksa loh.. Menurut Martin dan Marshall (1995) mengatakan
bahwa self determined sebagai
individu yang tahu bagaimana memilih, mereka tahu apa yang mereka inginkan dan
bagaimana mendapatkannya. Selain itu, menurut Powers dkk, menjelaskan self determination sebagai konstruk yang
saling melibatkan orang lain mengambil tindakan sendiri, tetapi juga mengajar
dan membimbing orang-orang untuk mendukung mereka bagaimana membantu mereka
memenuhi kebutuhannya yang spesifik dan mencapai tujuan mereka pribadi (dalam
Maureen, 2010). Sang guru yang mampu mendukung dan memberikan perhatian kepada
anak tuna daksa akan membantu si anak mengembangkan self determination. Hal ini dikarenakan si anak akan merasa
mendapat arahan dan mampu mencapai sesuatu yang diinginkannya, sehingga tidak
lagi bergantung pada orang lain. Nah, penting banget kan perhatian dan dukungan
buat anak penyandang cacat fisik J sekarang sebisa mungkin kita lebih menghargai
keterbatasan mereka yaa.. dan semoga artikel ini bermanfaat sebagai pengetahuan
tambahan J
Referensi
Desi Anggraini, 2012.
Hubungan antara Kecerdasan (Emosi, Intelektual, Spritual) dengan Penerimaan
Diri pada Dewasa Muda Penyandang Cacat Tubuh di Balai Besar Rehabilitasi Sosial
Bina Daksa Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Ratnaning Sanja, 2006. HUBUNGAN
ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KOMPETENSI RELASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG CACAT
TUBUH. Universitas Muhhamadiyah Surakrta.
Suparno
dan Heri Purwanto. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus- Unit 4. Pdf http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/PRODI._ILMU_KOMPUTER/196603252001121-MUNIR/Multimedia/Multimedia_Bahan_Ajar_PJJ/Pendidikan_Anak_Berkebutuhan_Khusus/Pendidikan+Anak+Kebutuhan+Khusus+UNIT+4.pdf (e-book)
E. Angell,
Maureen, et al,. 2010. Advice From Adults With Physucal Disabilities on
Fostering Self-Determination During the School Years. Teaching Exceptiona
Children Vol. 42 No.3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar