Selasa, 18 Desember 2012

Tidak Mengenalku, maka Tidak Memahamiku (Artikel singkat Tuna Daksa)


Tidak Mengenalku, maka Tidak Memahamiku
(Artikel singkat Tuna Daksa)

PENGANTAR
1.1.Deskripsi Tuna Daksa
Bentuk kelainan pada sistem otot, tulang, dan persendian yang mempengaruhi koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan perkembangan individu. Terdapat 1.652.741 jiwa individu Tuna Daksa di Indonesia. Tuna Daksa dibedakan menjadi 2 jenis, antara lain:
(1)   Kelainan pada sistem serebral (Cerebral Palsy
(2)   Kelainan pada sistem otot dan rangka (Musculus Skeletal)
1.2.Karakteristik
a.       Kognitf           : Secara kognitif, individu Tuna Daksa memiliki tingkatan kecerdasan yang bervariasi. Ada yang retardasi mental, kecerdasan di bawah rata-rata, kecerdasan rata-rata, kecerdasan di atas rata-rata, bahkan ada yang gifted (kecerdasan superior)).
b.      Fisik                : Secara fisik, individu Tuna Daksa memiliki gangguan motorik dan sensorik. Gangguan motorik mengacu pada gangguan pada motorik halus dan kasar, misalnya: kekakuan gerak pada anggota tubuh dan gerakan yang tidak dapat dikendalikan. Gangguan sensorik mengarah pada gangguan pada panca indera, misalnya gangguan pendengaran dan penglihatan. Hal ini disebabkan oleh kelainan otak pada Tuna Daksa Cerebral Palsy yang menghasilkan ketidakseimbangan otot-otot panca indera.
c.       Sosioemosi      : Emosi individu Tuna Daksa yang muncul tergantung dengan rangsang yang diterimanya. Individu bisa merasa rendah diri, menolak lingkungan sosial, dan mudah tersinggung karena keterbatasan yang mereka miliki. Emosi ini dapat bervariasi tergantung dari penerimaan sosial yang mereka dapat.
1.3.Etiologi (Penyebab)
a.       Prenatal (Masa Kehamilan)
Ketunadaksaan dapat diakibatkan oleh adanya kerusakan bagian syaraf tertentu karena infeksi atau serangan virus rubella, syphilis, dan typus abdominolis. Selain itu, faktor lainnya yang juga berperan adalah karena peredaran darah ibu yang terganggu saat kehamilan, sakit yang dialami ibu, hingga radiasi yang mempengaruhi system syaraf janin. Tali pusar yang tertekan maupun kecelakaan yang dialami oleh ibu juga dapat menyumbangkan gangguan pada kondisi fisik janin.
b.      Perinatal (Saat Kelahiran)
Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan syaraf pada janin bisa diakibatkan oleh kurangnya asupan oksigen pada bayi karena proses kelahiran yang lama. Pemakaian alat bantu kelahiran dapat pula merusak syaraf otak pada bayi. Selain itu, pembiusan yang melebihi ketentuan juga dapat menimbulkan kelainan pada struktur dan fungsi fisik pada bayi.
c.       Postnatal (Setelah Kelahiran)
Faktor yang mempengaruhi ketunadaksaan pasca kelahiran diantaranya adalah kecelakaan/ trauma kepala, infeksi penyakit, dan kadar oksigen yang tidak sesuai.
1.4.Dinamika Keluarga
Para orangtua tentu saja mengharapkan perkembangan yang optimal bagi anaknya. Namun, terkadang perkembangan yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Sering terjadi keadaan dimana anak memunculkan suatu gejala atau gangguan sejak usia dini. Orangtua yang mengikuti tiap tahap perkembangan anak tentu memiliki informasi yang lebih banyak mengenai hambatan apa saja yang dialami anak. Namun, adapula orangtua yang tidak peduli dengan kondisi anaknya. Banyak respon yang muncul saat mengetahui anak mengalami gangguan pasca kelahiran, ada yang menolak, adapula yang menerima. Penerimaan dan penolakan tersebut bervariasi tergantung dengan tingkat pemahaman orangtua mengenai perkembangan anaknya.
Tidak mudah bagi orangtua untuk menerima bahwa anak mereka mengalami gangguan. Berbagai penolakan pada anak dapat menghambat anak untuk berkembang secara optimal. Emosi yang dimunculkan oleh orangtua dalam penolakan kebanyakan sifatnya adalah emosi negatif, dimana hal ini membawa dampak yang negatif pula baik bagi orangtua sendiri maupun bagi anak, sehingga diharapkan orangtua mampu membuka diri dan menerima keberadaan anak mereka yang spesial.



DUKUNGAN ORANG TERDEKAT DAN LINGKUNGAN
            Mendengar istilah cacat di masyarakat merupakan hal yang sudah umum, namun bagaimana respon setelah mendengarnya merupakan hal yang berbeda. Kebanyakan orang akan berpikir mengenai hal yang negatif yang sifatnya merendahkan. Anak tuna daksa cenderung merasa apatis, malu, rendah diri, sensitif dan kadang-kadang pula muncul sikap egois terhadap lingkungannya yang disebabkan oleh perkembangan dan pembentukan pribadi yang kurang didukung oleh lingkungan sekitar. Keadaan seperti ini mempengaruhi kemampuan dalam hal sosialisasi dan interaksi sosial terhadap lingkungan sekitarnya atau dalam pergaulan sehari-harinya. Masalah psikologis anak tuna daksa dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari diri anak dan faktor eksternal yang berasal dari lingkungan keluarga dimana ia tinggal dan lingkungan masyarakat. Anak atau siswa tuna daksa yang satu dengan yang lain belum tentu sama apa yang dipikirkannya. Jadi meskipun sama-sama mengalami ketunaan, belum tentu apa yang dirasakan seseorang sama dengan yang dirasakan anak tuna-tuna lainnya. Dengan demikian psikologi sosial memiliki peranan yang sangat penting bagi anak tunadaksa untuk perkembangan dirinya dalam berinteraksi dengan lingkungnya Agar mereka lebih mandiri dan tidak selalu bergantungke pada orang lain. Selain itu untuk membentuk kepribadian dalam diri anak tunadaksa tidaklah hal yang mudah, butuh proses yag cukup lama.
   Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga, pola pergaulan, etika berinteraksi dengan orang lain merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Bila orang tua terlalu melindungi anak-anaknya maka akan timbul ketergantungan kepada orang tua. Kehadiran anak cacat yang tidak dapat diterima oleh orang tua, ditolak, diacuhkan dan seakan-akan disingkirkan keberadaannya dan sikap masyarakat sekitarnya juga demikian akan merusak perkembangan pribadi serta sosial anak. Perkembangan dan pembentukan pribadinya sangat ditentukan oleh sikap positif keluarga di samping juga ditentukan masyarakat.
 Peran orang tua terhadap konsep diri dan kemampuan komunikasi interpersonal pada anak tuna daksa menunjukkan bahwa dukungan orang tua mempengaruhi pembentukan konsep diri anak tuna daksa dan nantinya akan mempengaruhi dalam komunikasi interpersonalnya. Perlakuan yang berbeda dari keluarga dan masyarakat akan menimbulkan kepekaan efektif pada para penyandang tuna daksa, yang tak jarang mengakibatkan timbulnya perasan negatif pada diri mereka terhadap lingkungan sosialnya. Keadaan ini menyebabkan hambatan pergaulan sosial penyandang tuna daksa. Jika keluarga dan lingkungan memberikan perlakuan positif, maka penyesuaian diri pada anak tunadaksa juga akan baik karena mereka merasa diterima di lingkungan keluarga juga sosialnya dengan keterbatasan yang dia milikinya.



BAGAIMANA BERINTERAKSI DENGAN MEREKA?
            Lingkungan sosial memiliki pengaruh yang cukup besar bagi anak tunadaksa. Lingkungan yang baik akan memberikan respon yang baik, sebaliknya lingkungan yang negatif maka akan menimbulkan sikap yang buruk pula pada pembentukan pribadi anak tunadaksa. Berdasarkan pengalaman observasi dan mengajar di salah satu SLB X, Saya memiliki kesimpulan sendiri terkait dengan berinteraksi dengan individu Tuna Daksa. Penerimaan tanpa syarat merupakan hal wajib yang harus Anda bawa ketika mulai berinteraksi dengan mereka. Anak yang mendapat penerimaan dari orangtua dan lingkungan secara ideal mengembangkan suatu pola gambaran diri yang konsisten dan tumbuh menjadi pribadi yang positif.
Jika berniat untuk membantu, bantulah mereka dengan etika, jangan langsung berinteraksi seperti “sok kenal” karena mereka akan canggung dan bahkan menutup diri. Individu tunadaksa juga memiliki potensi seperti kita, mereka dapat melakukan hal-hal yang juga kita lakukan tentu saja jika ada keyakinan bahwa mereka bisa dan usaha mereka dalam melakukan hal tersebut. Sedikit candaan atau humor sangat membantu untuk berinteraksi lebbih dekat dengan mereka. Ada satu pengalaman Saya terkait hal ini, seorang anak di kelas 2 SLB-D sangat tertutup dibandingkan dengan anak lainnya, pada minggu-minggu awal saat implementasi dilakukan Saya bercanda dengan anak tersebut, responnya masih biasa saja. Minggu depannya Saya kembali lagi untuk membantu meeka belajar, anak tersebut sudah bisa tertawa tanpa malu di kelasnya ada “orang asing” yang berperan sebagai pengajar juga. Intinya, sikap sabar dalam mendekati mereka sangat dibutuhkan, karena keterbatasan yang mereka miliki tidak heran bila mungkin mereka minder berinteraksi pada kita.
Hal lainnya yang saya temukan pada salah satu jurnal menyebutkan bahwa murid yang secara sosial diterima lebih sukses di sekolahnya. Maksudnya disini adalah, kesuksesan dalam menjalin hubungan sosial dengan teman sebaya, potensi akademik dapat berkembang secara optimal, dan lebih ramah kepada orang lain. Hal ini membuat Saya berpikir bahwa penerimaan memiliki dampak yang sangat besar terhadap pembentukan konsep diri yang terkait dengan interaksi sosial mereka. Semakin anak memiliki konsep diri yang buruk mengenai dirinya karena penolakan lingkungan, semakin kecil pula kesempatan mereka membentuk hubungan timbal balik dengan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, hargai setiap pendapat dan usaha mereka dalam melakukan sesuatu. Jika sebelumnya Anda belum pernah sama sekali berinteraksi dengan mereka, mulailah dari hal-hal yang mereka sukai untuk menjalin pendekatan. Hindari kritikan dan bentakan dalam berkomunikasi dengan individu tunadaksa, karena hal tersebut hanya dapat membuat mereka semakin tidak percaya diri dan memiliki konsep diri yang kurang baik. Pergunakan pula bahasa yang sopan dan mudah dipahami oleh mereka, karena berdasarkan pengalaman Saya, beberapa individu tidak memahami arti dari kata tertentu. Mudah untuk berinteraksi dengan individu tunadaksa jika Anda memiliki niat baik dan keterbukaan untuk memulai memahami mereka.
Hindarilah konotasi negatif dan persepsi yang kurang tepat saat mendengar kata tunadaksa. Berinteraksilah dengan mereka tentu saja dengan cara Anda sendiri tanpa mengabaikan beberapa hal yang Saya bahas di atas, maka Anda akan bisa memahami mereka dan mengubah persepsi Anda.

Referensi
Pengalaman penulis
International Journal of Disabilities, Development and Education Vol. 50, No. 4, December 2003
http://news.detik.com/read/2011/12/19/231538/1795081/471/etika-berinteraksi-dengan-penca
runz-seputarplb.blogspot.com/
Barlow, Durand. 2007. Psikologi Abnormal Jilid 2. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Ofm, Yustinus, Semium. 2006. Kesehatan Mental 2. Kanisius: Yogyakarta.


Indri (09-134)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar