Tidak
Mengenalku, maka Tidak Memahamiku
(Artikel
singkat Tuna Daksa)
PENGANTAR
1.1.Deskripsi
Tuna Daksa
Bentuk
kelainan pada sistem otot, tulang, dan persendian yang mempengaruhi koordinasi,
komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan perkembangan individu. Terdapat 1.652.741
jiwa individu Tuna Daksa di Indonesia. Tuna Daksa dibedakan menjadi 2 jenis,
antara lain:
(1)
Kelainan pada sistem serebral (Cerebral Palsy
(2)
Kelainan pada sistem otot dan rangka
(Musculus Skeletal)
1.2.Karakteristik
a.
Kognitf :
Secara kognitif, individu Tuna Daksa memiliki tingkatan kecerdasan yang
bervariasi. Ada yang retardasi mental, kecerdasan di bawah rata-rata,
kecerdasan rata-rata, kecerdasan di atas rata-rata, bahkan ada yang gifted
(kecerdasan superior)).
b.
Fisik :
Secara fisik, individu Tuna Daksa memiliki gangguan motorik dan sensorik.
Gangguan motorik mengacu pada gangguan pada motorik halus dan kasar, misalnya:
kekakuan gerak pada anggota tubuh dan gerakan yang tidak dapat dikendalikan.
Gangguan sensorik mengarah pada gangguan pada panca indera, misalnya gangguan
pendengaran dan penglihatan. Hal ini disebabkan oleh kelainan otak pada Tuna
Daksa Cerebral Palsy yang menghasilkan ketidakseimbangan otot-otot panca
indera.
c.
Sosioemosi : Emosi individu Tuna Daksa yang muncul tergantung dengan
rangsang yang diterimanya. Individu bisa merasa rendah diri, menolak lingkungan
sosial, dan mudah tersinggung karena keterbatasan yang mereka miliki. Emosi ini
dapat bervariasi tergantung dari penerimaan sosial yang mereka dapat.
1.3.Etiologi
(Penyebab)
a.
Prenatal (Masa Kehamilan)
Ketunadaksaan
dapat diakibatkan oleh adanya kerusakan bagian syaraf tertentu karena infeksi
atau serangan virus rubella, syphilis, dan typus abdominolis. Selain itu,
faktor lainnya yang juga berperan adalah karena peredaran darah ibu yang
terganggu saat kehamilan, sakit yang dialami ibu, hingga radiasi yang
mempengaruhi system syaraf janin. Tali pusar yang tertekan maupun kecelakaan
yang dialami oleh ibu juga dapat menyumbangkan gangguan pada kondisi fisik
janin.
b.
Perinatal (Saat Kelahiran)
Hal-hal
yang dapat menimbulkan kerusakan syaraf pada janin bisa diakibatkan oleh
kurangnya asupan oksigen pada bayi karena proses kelahiran yang lama. Pemakaian
alat bantu kelahiran dapat pula merusak syaraf otak pada bayi. Selain itu,
pembiusan yang melebihi ketentuan juga dapat menimbulkan kelainan pada struktur
dan fungsi fisik pada bayi.
c.
Postnatal (Setelah Kelahiran)
Faktor
yang mempengaruhi ketunadaksaan pasca kelahiran diantaranya adalah kecelakaan/
trauma kepala, infeksi penyakit, dan kadar oksigen yang tidak sesuai.
1.4.Dinamika
Keluarga
Para orangtua
tentu saja mengharapkan perkembangan yang optimal bagi anaknya. Namun,
terkadang perkembangan yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Sering
terjadi keadaan dimana anak memunculkan suatu gejala atau gangguan sejak usia
dini. Orangtua yang mengikuti tiap tahap perkembangan anak tentu memiliki
informasi yang lebih banyak mengenai hambatan apa saja yang dialami anak. Namun,
adapula orangtua yang tidak peduli dengan kondisi anaknya. Banyak respon yang
muncul saat mengetahui anak mengalami gangguan pasca kelahiran, ada yang
menolak, adapula yang menerima. Penerimaan dan penolakan tersebut bervariasi
tergantung dengan tingkat pemahaman orangtua mengenai perkembangan anaknya.
Tidak mudah bagi
orangtua untuk menerima bahwa anak mereka mengalami gangguan. Berbagai
penolakan pada anak dapat menghambat anak untuk berkembang secara optimal.
Emosi yang dimunculkan oleh orangtua dalam penolakan kebanyakan sifatnya adalah
emosi negatif, dimana hal ini membawa dampak yang negatif pula baik bagi
orangtua sendiri maupun bagi anak, sehingga diharapkan orangtua mampu membuka
diri dan menerima keberadaan anak mereka yang spesial.
DUKUNGAN
ORANG TERDEKAT DAN LINGKUNGAN
Mendengar istilah
cacat di masyarakat merupakan hal yang sudah umum, namun bagaimana respon
setelah mendengarnya merupakan hal yang berbeda. Kebanyakan orang akan berpikir
mengenai hal yang negatif yang sifatnya merendahkan. Anak tuna daksa cenderung merasa apatis, malu, rendah
diri, sensitif dan kadang-kadang pula muncul sikap egois terhadap lingkungannya
yang disebabkan oleh perkembangan dan pembentukan pribadi yang kurang didukung
oleh lingkungan sekitar. Keadaan seperti ini mempengaruhi kemampuan dalam hal
sosialisasi dan interaksi sosial terhadap lingkungan sekitarnya atau dalam
pergaulan sehari-harinya. Masalah psikologis anak tuna daksa dipengaruhi oleh
faktor internal yang berasal dari diri anak dan faktor eksternal yang berasal
dari lingkungan keluarga dimana ia tinggal dan lingkungan masyarakat. Anak atau
siswa tuna daksa yang satu dengan yang lain belum tentu sama apa yang
dipikirkannya. Jadi meskipun sama-sama mengalami ketunaan, belum tentu apa yang
dirasakan seseorang sama dengan yang dirasakan anak tuna-tuna lainnya. Dengan
demikian psikologi sosial memiliki peranan yang sangat penting bagi anak
tunadaksa untuk perkembangan dirinya dalam berinteraksi dengan lingkungnya Agar
mereka lebih mandiri dan tidak selalu bergantungke pada orang lain. Selain itu
untuk membentuk kepribadian dalam diri anak tunadaksa tidaklah hal yang mudah,
butuh proses yag cukup lama.
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan
pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan termasuk perkembangan sosialnya.
Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga, pola pergaulan, etika berinteraksi
dengan orang lain merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Bila orang tua
terlalu melindungi anak-anaknya maka akan timbul ketergantungan kepada orang
tua. Kehadiran anak cacat yang tidak dapat diterima oleh orang tua, ditolak,
diacuhkan dan seakan-akan disingkirkan keberadaannya dan sikap masyarakat
sekitarnya juga demikian akan merusak perkembangan pribadi serta sosial anak.
Perkembangan dan pembentukan pribadinya sangat ditentukan oleh sikap positif
keluarga di samping juga ditentukan masyarakat.
Peran orang tua terhadap konsep
diri dan kemampuan komunikasi interpersonal pada anak tuna daksa menunjukkan
bahwa dukungan orang tua mempengaruhi pembentukan konsep diri anak tuna daksa
dan nantinya akan mempengaruhi dalam komunikasi interpersonalnya. Perlakuan
yang berbeda dari keluarga dan masyarakat akan menimbulkan kepekaan efektif
pada para penyandang tuna daksa, yang tak jarang mengakibatkan timbulnya
perasan negatif pada diri mereka terhadap lingkungan sosialnya. Keadaan ini
menyebabkan hambatan pergaulan sosial penyandang tuna daksa. Jika keluarga dan
lingkungan memberikan perlakuan positif, maka penyesuaian diri pada anak
tunadaksa juga akan baik karena mereka merasa diterima di lingkungan
keluarga juga sosialnya dengan keterbatasan yang dia milikinya.
BAGAIMANA BERINTERAKSI DENGAN MEREKA?
Lingkungan
sosial memiliki pengaruh
yang cukup besar bagi anak
tunadaksa. Lingkungan yang baik akan memberikan respon yang baik, sebaliknya
lingkungan yang negatif maka akan menimbulkan sikap yang buruk pula pada
pembentukan pribadi anak tunadaksa. Berdasarkan
pengalaman observasi dan mengajar di salah satu SLB X, Saya memiliki kesimpulan
sendiri terkait dengan berinteraksi dengan individu Tuna Daksa. Penerimaan tanpa
syarat merupakan hal wajib yang harus Anda bawa ketika mulai berinteraksi
dengan mereka. Anak yang mendapat penerimaan dari orangtua dan lingkungan
secara ideal mengembangkan suatu pola gambaran diri yang konsisten dan tumbuh
menjadi pribadi yang positif.
Jika berniat untuk
membantu, bantulah mereka dengan etika, jangan langsung berinteraksi seperti “sok
kenal” karena mereka akan canggung dan bahkan menutup diri. Individu tunadaksa
juga memiliki potensi seperti kita, mereka dapat melakukan hal-hal yang juga
kita lakukan tentu saja jika ada keyakinan bahwa mereka bisa dan usaha mereka
dalam melakukan hal tersebut. Sedikit candaan atau humor sangat membantu untuk
berinteraksi lebbih dekat dengan mereka. Ada satu pengalaman Saya terkait hal
ini, seorang anak di kelas 2 SLB-D sangat tertutup dibandingkan dengan anak
lainnya, pada minggu-minggu awal saat implementasi dilakukan Saya bercanda
dengan anak tersebut, responnya masih biasa saja. Minggu depannya Saya kembali
lagi untuk membantu meeka belajar, anak tersebut sudah bisa tertawa tanpa malu
di kelasnya ada “orang asing” yang berperan sebagai pengajar juga. Intinya,
sikap sabar dalam mendekati mereka sangat dibutuhkan, karena keterbatasan yang
mereka miliki tidak heran bila mungkin mereka minder berinteraksi pada kita.
Hal lainnya yang saya
temukan pada salah satu jurnal menyebutkan bahwa murid yang secara sosial
diterima lebih sukses di sekolahnya. Maksudnya disini adalah, kesuksesan dalam
menjalin hubungan sosial dengan teman sebaya, potensi akademik dapat berkembang
secara optimal, dan lebih ramah kepada orang lain. Hal ini membuat Saya
berpikir bahwa penerimaan memiliki dampak yang sangat besar terhadap
pembentukan konsep diri yang terkait dengan interaksi sosial mereka. Semakin anak
memiliki konsep diri yang buruk mengenai dirinya karena penolakan lingkungan,
semakin kecil pula kesempatan mereka membentuk hubungan timbal balik dengan
lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, hargai setiap pendapat dan usaha mereka
dalam melakukan sesuatu. Jika sebelumnya Anda belum pernah sama sekali
berinteraksi dengan mereka, mulailah dari hal-hal yang mereka sukai untuk
menjalin pendekatan. Hindari kritikan dan bentakan dalam berkomunikasi dengan
individu tunadaksa, karena hal tersebut hanya dapat membuat mereka semakin
tidak percaya diri dan memiliki konsep diri yang kurang baik. Pergunakan pula
bahasa yang sopan dan mudah dipahami oleh mereka, karena berdasarkan pengalaman
Saya, beberapa individu tidak memahami arti dari kata tertentu. Mudah untuk
berinteraksi dengan individu tunadaksa jika Anda memiliki niat baik dan keterbukaan
untuk memulai memahami mereka.
Hindarilah konotasi
negatif dan persepsi yang kurang tepat saat mendengar kata tunadaksa.
Berinteraksilah dengan mereka tentu saja dengan cara Anda sendiri tanpa
mengabaikan beberapa hal yang Saya bahas di atas, maka Anda akan bisa memahami
mereka dan mengubah persepsi Anda.
Referensi
Pengalaman penulis
International
Journal of Disabilities, Development and Education Vol. 50, No. 4, December
2003
http://news.detik.com/read/2011/12/19/231538/1795081/471/etika-berinteraksi-dengan-penca
runz-seputarplb.blogspot.com/
Barlow,
Durand. 2007. Psikologi Abnormal Jilid 2. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Ofm,
Yustinus, Semium. 2006. Kesehatan Mental 2. Kanisius: Yogyakarta.
Indri (09-134)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar