Rabu, 19 Desember 2012

Saat aku berumur 3 bulan dalam kandungan, orang tuaku tahu aku akan terlahir tunarungu…

Aku adalah seorang anak berumur 11 tahun yang duduk di bangku kelas dasar 5 SLB-B swasta di Jogjakarta. Aku cantik, tinggi, ramping, dan selalu tersenyum kepada orang yang aku temui. Sepintas orang tidak akan tahu kalau aku ‘berbeda’ dibandingkan dengan anak-anak lain di luar sana. Saat aku berkomunikasi, aku menggunakan cara yang sedikit berbeda dengan orang pada umumnya, dan itu yang membuatku luar biasa. Aku mencoba mengenali gerakan bibir dan memanfaatkan sedikit sisa pendengaranku untuk memahami apa yang ingin disampaikan oleh lawan bicaraku. Aku mencoba menjawab dengan teknik yang telah aku pelajari, walaupun sedikit aneh ditelinga kalian yang tidak ‘berbeda’ sepertiku tapi aku selalu belajar untuk terus menyempurnakannya. Ya, aku mengalami tuna rungu sejak lahir. Itu yang membuat aku harus berkomunikasi dengan cara yang seperti itu. Orang tuaku tahu bahkan sejak aku masih berumur 3 bulan di dalam kandungan, yang diketahui penyebabnya adalah virus Rubella yang menyerang kandungan ibuku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaaan kedua orang tuaku saat itu. Namun, saat ini yang kuterima adalah dukungan penuh dari mereka. Mereka tidak pernah malu memiliki anak yang ‘luar biasa’ sepertiku. Bahkan, berkat dukungan dari mereka dan seluruh anggota keluargaku, aku dapat menoptimalkan talenta yang aku punya. Aku sering menjuarai berbagai macam perlombaan modeling. Hal itu membuat aku bahagia.
-EK-
 
Kisah di atas merupakan kisah nyata dari seorang anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mengalami tunarungu sejak lahir sehingga memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi. Definisi orang tunarungu adalah orang yang mengalami ketidakmampuan mendengar (pada tingkat 70 dB ISO atau lebih besar lagi), sehingga mengalami hambatan dalam memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan menggunakan alat bantu dengar. Sedangkan orang yang kurang pendengaran adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan untuk mendengar (biasanya pada taraf 35 sampai 69 dB) sehingga mengalami kesulitan, tetapi tidak menghalangi orang tersebut dalam memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan menggunakan alat bantu dengar. 
Dampak yang paling besar pada anak tunarungu adalah mengenai perkembangan bahasa yang terhambat. Hal ini  terjadi karena interdependensi antara gangguan pendengaran dengan perkembangan bahasa. Padahal penggunaan bahasa sangat penting dalam keseharian kita. Bisa kita bayangkan apabila kita berada di negeri asing dan tidak seorangpun mengerti bahasa yang kita pakai, akan sangat membuat frustasi pastinya. Dan itu adalah kemungkinan yang dialami oleh anak ABK khususnya tunarungu. Oleh karena itu, perkembangan bahasa menjadi topik penting yang disoroti oleh para peneliti.
Berdasarkan temuan jurnal yang penulis dapatkan, ada keterkaitan antara intervensi dini dengan perkembangan bahasa pada anak yang mengalami gangguan pendengaran (tunarungu). Didapatkan perbedaan yang signifikan pada perbendaharaan kata dan penalaran verbal antara anak yang dideteksi lebih dini terutama pada usia post-natal sampai 6 bulan dibandingkan dengan anak yang dideteksi setelah periode tersebut. Anak yang dideteksi lebih awal memungkinkan adanya intervensi dari orangtua yang lebih dini sehingga dapat lebih mengoptimalkan cara berkomunikasi. Seperti kisah nyata yang diceritakan di atas, anak tersebut dari awal sudah dideteksi akan mengalami tunarungu. Teknologi saat ini sudah memungkinkan untuk mengetahui apakah anak mengalami gangguan pendengaran atau tidak sejak saat dia lahir bahkan bisa juga sejak di dalam kandungan.  Dengan begitu, keluarga sudah menyiapkan mental serta menetapkan langkah untuk bagaimana mendidik anak tersebut untuk menjadi adaptif dengan lingkungan meski dengan perbedaan yang dia miliki. Penerimaan dari keluarga menjadi sangat penting, karena begitu besarnya peran keluarga dalam proses perkembangan anak khususnya perkembangan bahasa dalam kasus ini.  Lingkungan keluarga yang diharapkan adalah keluarga yang menyesuaikan dengan baik terhadap anaknya yang mengalami gangguan pendengaran. Seluruh anggota keluarga berperan aktif dalam proses belajar berkomunikasi. Keluarga menempatkan anak pada sekolah yang berkompeten dibidang pembelajaran bagi anak tunarungu. Keluarga menjadi partner brecakap yang baik dan menggunakan bahasa yang konstan. Serta, keluarga diharapkan untuk mampu mengembangkan bahasa sehingga pengetahuan anak terus bertambah.

Disusun oleh Maria Kunthi Purnamasari
Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
089114118

Referensi
Hernawati, T., (2007). JASSI_anakku. Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara Anak Tunarungu, Vol. 7, Nmr. 1; hlm. 101-110.
Moeller, M.P., (2000). PEDIATRICS. Early Intervention and Language Development in Children Who Are Deaf and Hard of Hearing. Vol. 106, Nmr. 3.
Semiawan, C.R., Mangunsong, F.(2010), Twice Exceptionality, Keluarbiasaan Ganda: Mengeksplorasi, Mengenal, Mengidentifikasi, dan menanganinya. Jakarta: Prenada Media Group.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar